Membaca Akar Tuduhan Syiah terhadap Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj
Membaca Akar Tuduhan Syiah terhadap Ketum PBNU KH. Said Aqil Siradj
Oleh : M Zainal A Khosyi’in
KH. M. Bashori Alwi (khodim Ma’had Dirasah al-Qur’an/PIQ Singosari), pengasuh Pengajian Tafsir di Masjid Agung Jami’ Kota Malang, disuatu kesempatan—tidak seperti biasanya mengaji tafsir—secara khusus beliau menyampaikan beberapa nukilan Disertasi Doktor Prof DR KH Said Aqil Siraj,MA di Universitas Ummul Qurro’ Madinah dibawah judul “Shilatu Allohi bilkauni fi al-tashawwufi al-falsafi” (Hubungan antara Allah dan alam menurut perspektif tasawwuf falsafi).
Berbekal nukilan disertasi (yang hanya beberapa lembar) itu, beliau menerangkan pendapat-pendapat Kiai Said yang dianggap sebagai telah cukup membuktikan bahwa Kiai Said adalah penganut dan penyebar Syiah
Karuan saja pengajian itu menuai protes dari Nahdliyin seantero Malang Raya (Kota Batu, Kota dan Kabupaten Malang), Karena memang seluruh kegiatan ta’lim di masjid termegah di Malang itu disebar luaskan melalui Radio Madina FM 99,8 MHz. Sampai bbeberapa hari tak ada klarifikasi apapun mengenai isi pengajian itu.
Sekonyong-konyong ‘tuduhan’ terhadap Kiai Said itu mengingatkan saya pada situasi yang terjadi diawal dekade 1990-an dimana KH. M. Bashori Alwi, bersama KH. Badri Masduki (Pengasuh Pesantren Badrud Duja’ Probolinggo) dan dr H. Muhammad Tohir (ketika itu Direktur RSI Surabaya) berpolemik sangat hebat dengan KH. Abdurrohman Wahid (Gus Dur) atas tuduhan mereka bahwa Gus Dur menyebarkan faham Syi’ah. Polemik mereka hampir setiap hari mewarnai koran-koran lokal dan nasional.
Sebenarnya tuduhan Syiah terhadap Gus Dur Syiah itu didasarkan pada pernyataan-pernyatan Gus Dur sendiri. Sebagai tokoh dan Ketua Umum NU, dalam berbagai kesempatan, Gus Dur selalu mengatakan bahwa secara kultural, NU ada kesamaan dengan Syi’ah. Tradisi penghormatan kepada wali, kepercayaan pada keramat, ziarah kubur, penghormatan kepada ahlul bait (keluarga Nabi) adalah sebagian tradisi yang berkembang kuat di kalangan Syi’ah. Pernyataan Gus Dur ini, oleh para penetang dianggap sebagai perasaan simpati pada Syi’ah sehingga menimbulkan polemik sengit
Sangking hebatnya polemik itu sampai-sampai berlanjut pada permufakatan melengserkan Gus Dur dari kursi Ketua Umum NU pada Muktamar ke-29 NU tahun 1994 di Cipasung Tasikmalaya. Setelah upaya mendongkel Gus Dur di Muktamar Cipasung gagal total, dipimpin oleh H. Abu Hasan—rival Gus Dur dalam perebutan kursi Ketua Umum NU—dan didukung rezim orde baru, kelompok penentang Gus Dur menggelar Muktamar Luar Biasa NU di Pondok Gede Jakarta. Muktamar Luar Biasa NU itu melahirkan KPPNU (Koordinasi Pengurus Pusat Nahdlatul Ulama) dengan Rais Aam KH. A. Hamid Baidlowi dan Ketua Umum H. Abu Hasan
Demikianlah, Gus Dur dijadikan sasaran tembak atas tuduhan Syiah. Ketika sasaran tembak utama tersebut tidak bergeming lantas dicarilah sasaran antara yaitu DR KH Said Aqil Siraj,MA (doktor jebolam Univ Ummul Qurro Madinah)
Beberapa waktu sebelum Muktamar Cipasung, Kiai Said—dalam kapasitas sebagai Wakil Katib Aam PBNU 1989-1994)—diundang dalam sebuah diskusi terbatas yang diselenggarakan anak-anak muda NU. Diskusi yang juga dihadiri oleh kolumnis Mohamad Sobari itu, membicarakan gagasan Kiai Said mengenai “Penafsiran Kembali Doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah”.
Ketika itu, Kiai Said banyak mengungkap aspek-aspek kritis dalam sejarah pembentukan doktrin tersebut. Kiai Said menganggap bahwa definisi doktrin Aswaja yang dibuat oleh Rais Akbar NU, Hadlratussyeikh K.H. Hasyim Asy’ari, “boleh dianggap memalukan, jika didengar orang lain”. Pernyataan ini rupanya menyebabkan “sengatan” luar biasa pada kalangan kiai-kiai sepuh.
Ceramah Kiai Sa’id itu kemudian ditranskrip dan tanpa sepengetahuan kiai Sa’id diedarkan kemana-mana sampai akhirnya jatuh ke tangan KH A Hamid Baidlawi Lasem. Ketika menyampaikan khutbah iftitah Muktamar Luar Biasa (MLB) NU Pondok Gede, berdasar transkrip ceramah Kiai Said itu, KH A Hamid Baidlowi habis-habisan mengkritisi dan menyerang Kiai Sa’id.
Beberapa hari setelah MLB di Pondok Gede itu, sebuah surat protes melayang ke PBNU. Surat yang ditandatangani 12 orang—pendukung kubu Simprug (kawasan kediaman Abu Hasan, Ketua Umum KPPNU produk MLB Pondok Gede)—antara lain; KH.A. Hamid Baidlowi, KH. Attabik Ali (putera KH. Ali Ma’shum Krapyak), KH.A.Hasib Wahab (putera Kiai Wahab Hasbulloh, kini Ketua PBNU hasil Muktamar Jombang), KH. Badri Masduki (Probolinggo), dan KH.M.Bashori Alwi (Singosari Malang), berisi protes atas tuduhan bahwa Kiai Sa’id telah menyeleweng dari doktrin resmi NU, dan, karenanya, harus dicoret dari kepengurusan PBNU. Belum puas, KH. Badri Masduki bahkan mengirim surat ke majalah Aula—majalah PWNU Jawa Timur—yang berisi seabreg argumen yang menyatakan bahwa Kiai Said telah murtad.
Menanggapi sinyalamen beberapa kalangan bahwa tuduhan sebagai penganut Syiah terhadap Kiai Said Syiah itu sebagai sasaran tembak antara dengan the real target adalah Gus Dur, ketika itu beliau menanggapi dengan sangat enteng “Saya kira ada benarnya itu,”. Kini ketika Gus Dur sudah tiada, tentu saja the real target adalah Kiai Said Sendiri
Begitulah, KH A Hamid Baidlowi berhasil menarik simpati banyak kiai NU. Bagi kiai-kiai tradisional, berdirinya KPPNU, barangkali, tak terlalu menjadi soal benar. Sebab itu hanyalah masalah struktural yang berada diluar urusan mereka dan tak menyentuh “inti” NU. Tapi, begitu menyangkut aqidah NU, kiai-kiai itu bisa marah besar.
Di Jawa Timur, isu penyebaran Syi’ah di NU menimbulkan heboh. Maklum, wilayah ini, terutama daerah “tapal kuda”, merupakan basis NU yang paling fanatik. Sehingga pada tanggal 11 Maret 1996 berlangsung semacam “pengadilan” atas Kiai Said bertempat di Pesantren Wahid Hasyim, asuhan Kiai Chalid Syakir Bangil yang dihadiri tidak kurang 70 kiai lokal serta ratusan warga nahdiyyin. Selama kurang lebih tiga jam, Kiai Sa’id yang didampingi Gus Dur, mempertanggungjawabkan ide-idenya. Usai acara, seorang kiai sepuh menyeruduk Kiai Sa’id, merangkulnya, sambil berseru, “Orang sebaik ini kok dituduh murtad.” Para kiai, akhirnya, maklum dan dapat memahami gagasan Kiai Sa’id.
M Zainal A Khosyi’in, Konsul Kaukus Santri Malang Kota(arrahmah.co.id)
Komentar
Posting Komentar